Selasa, 03 April 2012

ASPEK HUKUM PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM PERATURAN-PERATURAN TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN KEPEINGAN UMUM

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Bagi bangsa Indonesia, hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi sehingga harus dikelola secara cermat pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling mendasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan untuk memperlancar jalannya pembangunan untuk kepentingan umum, di satu pihak pemerintah memerlukan areal tanah yang cukup luas. Pada pihak lain pemegang hak atas tanah yang akan digunakan tanahnya oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan tidak boleh dirugikan. Untuk mengatur hal tersebut diperlukan adanya suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.
Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah untuk berbagai kepentingan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antar pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan.[1]
Dalam perkembangannya, landasan hukum pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 yang kemudian juga digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Walaupun dilatar belakangi adanya upaya untuk melakukan perbaikan terhadap peraturan-peraturan pengadaan tanah sebelumnya, tetapi Perpres yang baru ini juga menyimpan potensi masalah yang cukup mengkhawatirkan, diantaranya masalah penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri bila proses musyawarah mengenai harga tanah tidak selesai. Masalah utamanya adalah mekanisme penitipan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri, permasalahan penitipan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri bila lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, namun musyawarah tidak mencapai hasil setelah berlangsung 120 hari kalender sesuai dengan Pasal 10 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 Pasal 10 sebelumnya adalah 90 hari kalender sesuai Kroscek Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007 Tentang Ketentuan pelaksanaan Pepres Nomor 36 tahun 2005 yang telah diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006.
Perlu ditegaskan, penerapan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan pada PN yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata keliru diterapkan dalam Perpres ini. Pengadaan tanah adalah perbuatan pemerintah/pemda yang termasuk dalam ranah hukum administrasi, sedangkan lembaga penawaran pembayaran dalam Pasal 1404 KUH Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan diantara para pihak.
Selain keliru menerapkan konsep dan terkesan memaksakan kehendak sepihak, Pasal 10 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 ini tidak final. Sepanjang masyarakat tetap keberatan dengan ganti kerugian, meski ganti kerugian sudah dititipkan kepada Pengadilan Negeri, tetap terbuka kemungkinan proses pengusulan pencabutan hak atas tanah melalui Pasal 18 Perpres Nomor 65 Tahun 2006, sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 18 UUPA. Pencabutan hak baru dapat ditempuh jika semua upaya musyawarah gagal dan merupakan upaya terakhir yang dimungkinkan oleh hukum.
Mungkin dengan penetapan jangka waktu 120 hari diharapkan dapat dicegah berlarutnya proses musyawarah sekaligus menimbulkan tekanan psikis pada masyarakat yang enggan berhubungan dengan lembaga peradilan. Secara hukum, Pasal 10 Perpres 65 Tahun 2006, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. ini tidak relevan karena tanpa menitipkan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri, sudah ada jalan keluar yang diatur dalam UU No 20/1961.
Berawal dari latar belakang diatas maka penulis tertarik melakukan Penelitian dengan judul “aspek hukum pemberian ganti rugi dalam peraturan-peraturan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan  umum”

  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah bentuk mekanisme pelaksanaan pemberian ganti rugi yang sah secara yuridis dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum ?
2.      Bagaimanakah permasalahan dalam penentuan ganti rugi dan cara atau upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada rakyat dalam pelaksanaan proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum?

  1. Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui bentuk mekanisme pelaksanaan ganti rugi yang sah secara yuridis dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.
2.      Untuk mengetahui permasalahan dalam penentuan ganti rugi dan cara serta upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada rakyat dalam pelaksanaan proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

D.    Kegunaan Penelitian
1.      Kegunaan Teoritis
Melalui penelitian ini, penulis berharap hasilnya mampu memberikan sumbangan bagi pembangunan Hukum Agraria khususnya Hukum Pertanahan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum, yang sesuai dengan asas-asas pengadaan tanah dalam hukum tanah Nasional.
2.      Kegunaan Praktis
Selain kegunaan secara teoritis, penelitian juga diharapkan bisa memberikan kegunaan secara praktis bagi kalangan yang memerlukannya seperti:
a.       Memberikan sumbangan pemikiran kepada semua pihak yang terkait dalam hal pengadaan tanah dan penitipan ganti rugi di Pengadilan.
b.      Memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penyelesaian sengketa yang timbul berkaitan dengan pemberian ganti rugi pengadilan.

E.     Sistematika Penelitian
                 Sistematika dari penelitian ini merupakan suatu rangkaiyan susunan dari penulisan itu sendiri secara teratur dan terperinci, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis. Karya tulis ini terbagi dalam tiga bagian yang utama yaitu, bagian awal, bagian isi, dan bagian ahir.  Gambaran yang lebih jelas mengenai isi karya tulis ini akan diuraikan dalam sistematika sebagai berikut;
1)   Bagian Awal
a.             Halaman judul
b.            Halaman pengesahan
c.             Lembar pengesahan
d.            Kata pengantar
e.             Daftar isi
2)   Bagian isi
Bab I: adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penulisan, dan sistematika penulisan karya ilmiah. Dalam latar belakang masalah diuraikan landasan hukum pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 yang kemudian juga digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, khususnya mengenai pengadaan tanah kemudian untuk menjaga agar dalam penulisan ini tidak terjadi penyimpangan dalam pengumpulan data dan kekaburan pembahasan , Tujuan maupun kegunaan dari penulisan ini untuk memberikan arah agar penulisan mempunyai tujuan maupun kegunaan yang berguna bagi perkembangan ilmu hukum tentang pemberian ganti rugi tanah yang di peruntukan untuk sarana umum . Sistematika penulisan bertujuan agar penulisan terarah dan sistematis.
Bab II: tentang tinjauan pustaka, bab ini menguraikan tentang materi-materi dan teori-teori yang berhubungan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 yang kemudian juga digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Materi-materi dan teori-teori merupakan landasan-landasan untuk menganalisis hasil karya tulis yang diperoleh dari studi pustakaan dengan mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan dalam bab I pendahuluan.
Bab III: didalam bab  III ini menguraikan tentang metode penulisan, secara lebih jelas dan rinci. Metode penulisan dalam bab III menjelaskan tentang metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini; sumber data; metode pengumpulan data; metode analisis data; dan tehnik pembahasan dan validasi data.
Bab IV: pembahasan, pada bab IV yang akan dipersembahkan, data yang diperoleh dari hasil studi pustaka, dengan tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan yang telah disusun dalam bab I. Sistematika penyajian pembahasan hasil studi pustakaan sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang disusun.
Bab V: dalam Bab ini merupakan bab penutup, Bab V, ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penulisan karya ilmiah dan pembahasan tentang Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 yang kemudian juga digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006,  khususnya mengenai ganti rugi tanah.

3)   Bagian Akhir
a.  Daftar Pustaka
b. Lampiran




















BAB II

METODE PENELITIAN
F.     Metode Pendekatan
            Spesifikasi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif Analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan peraturan hukum yang menyangkut permasalahan yang sudah ditentukan, Data yang diproleh melaui studi pustaka dan dokumentasi, antara lain barasal dari:
1.      Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria.. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tahun Pencabutan hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di Atasnya.
2.      Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
3.      Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres 55 tahun 1993.
5.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007 Tentang Ketentuan pelaksanaan Pepres Nomor 36 tahun 2005 yang telah diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006.

G.     Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian adalah metode analisis data kualitatif, yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang yang diperoleh disusun kembali secara teratur kemudian dianalisis secara sistematis agar mencapai kejelasan masalah yang muncul.


H.    Teknik Pengabsahan atau Validasi Data
Teknik pengabsahan data yang dipergunakan untuk penelitian adalah teknik triagulasi, yaitu teknik pemeriksaan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data tersebut.
           

























BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Perkembangan Hukum Pengadaaan Tanah
III.I.I Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Negara
Sebagai suatu organisasi kekuasaan, Negara harus memiliki suatu otoritas yang besar untuk lebih memudahkannya dalam fungsi pengaturannya. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Masalah yang mungkin timbul ialah sejauh mana otoritas terebut dapat digunakan sehingga tidak menyimpang dari keadaan yang seharusnya.
Menurut Pluto, kepentingan negara selalu melebihi kepentingan pribadi, sehingga apapun yang menjadi milik pribadi termasuk pula milik negara. Negara harus mempunyai kekuasaan atas warganya. Kekuasaan itu diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral. Bagi Pluto, individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri tetapi negara harus mencegahnya.[2]
Walaupun dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang paling dominan berada di tangan negara, akan tetapi awal dari proses beradanya kekuasaan pada negara umumnya dimulai dari warga negara. Di Indonesia, kedaulatan rakyat dijamin oleh UUD 1945. Penyelenggaraan kekuasaan tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ialah Presiden. Akan tetapi kekuasaan itu tidak tanpa batas karena kekuasaannya selalu harus dipertanggungjawabkan kepada yang memberi kuasa.
Dalam hubungannya dengan pengadaan tanah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 memberi kekuasaan yang besar kepada presiden untuk mencabut hak atas tanah dari warganya. Hanya saja kekuasaan negara itu harus berdasarkan hukum dasar dari Negara Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam bentuk apapun suatu negara, dibenarkan untuk mempunyai kekuasaan yang besar atas warganya. Namun kekuasaan yang besar itu selalu harus bersandarkan pada kepentingan yang lebih besar dari warga negara yang bersangkutan.

III.I.2 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Adat
Bagi masyarakat hukum adat, tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Selain itu, tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan.[3]
Secara garis besarnya, pada masyarakat hukum adat terdapat dua jenis hak atas tanah, yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah. Para anggota persekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu, mereka juga berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas hak persekutuan hukum sebagai objek.
Oleh Wignjodipoero diberikan contoh tentang fungsi sosial hak milik sebagai berikut[4] :
1)      Warga masyarakat desa yang memiliki rumah dengan pekarangan luas wajib membolehkan tetangganya berjalan melalui pekarangannya;
2)      Tiap warga masyarakat desa yang mempunyai sawah atau ladang, harus membolehkan sesama warga lainnya mengembalakan ternaknya di sawah atau ladangnya selama sawah atau ladangnya tersebut masih belum ditanami;
3)      Pamong desa berwenang mengambil tanah milik seseorang warganya guna kepentingan desa selama waktu tertentu.
Dalam hal desa memerlukan tanah untuk kepentingan umum, ia dapat meminta kembali tanah pertanian, tanah perkarangan, kolam ikan dan sebagainya dari pemiliknya. Tanah yang dalam keadaan demikian disebut dipundut. Ada tiga elemen penting dari perbuatan dipundut tersebut, yaitu[5] :
1)      Hak milik atas tanah ada pada orang, dari siapa tanah itu diminta;
2)      Yang meminta tanah itu adalah penguasa yang berkedudukan di atasnya;
3)      Tanah itu dipakai untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan perseorangan. Penyimpangan atas syarat ketiga ini adalah penyimpangan dari ketentuan dan pelanggaran hukum

III.I.3 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Barat
Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, lembaga pencabutan hak atas tanah juga diberlakukan, yang mana untuk melaksanakan sistem hukum ini harus melalui tiga instansi yaitu legislatif, eksekutif dan legislatif.[6]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga merupakan salah satu bukti bahwa hak milik mempunyai batas-batas penikmatannya, hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 570 KUH Perdata, bahwa : Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangan.
Jika dicermati ketentuan yang tertuang dalam Pasal 570 KUH Perdata tersebut, walaupun dikatakan bahwa rumusan ketentuannya sangat individualistis namun tetap ada pembatasan penggunaan dan penguasaan hak milik, yaitu[7] :
1)      Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan;
2)      Batas kesopanan dalam masyarakat yang tidak boleh mengganggu orang lain;

Pencabutan atas tanah untuk kepentingan umum, asalkan pencabutan atas tanah itu dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi yang layak.

III.I.4 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut UUPA
Dalam Pasal 33 UUD 1945 ditetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus ada penguasaan negara. Isi pasal ini tidak dimaksudkan pemerintah sebagai pemilik, karena sebagi pemilik subjeknya adalah orang dan hak itulah yang merupakan hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Walaupun sifatnya terkuat dan terpenuh, sama sekali tidak memberikan wewenang yang berlebihan. UUPA tetap memberikan prioritas sosial atas tanah yang ditetapkan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Hal ini sejalan dengan alam pikiran hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA. Itulah sebabnya, maka berdasarkan pasal 18 UUPA jika untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut.

III.2 Peraturan Hukum Mengenai Pengadaan Tanah
Pembaharuan hukum Indonesia di bidang hukum agraria khususnya di bidang pengadaan tanah menjadi tuntutan yang tidak terelakkan. Perubahan peraturan pengadaan tanah sebagai suatu reformasi hukum untuk menuju keadaan yang lebih baik. Reformasi hukum ini harus sesuai dengan nilai dasar hukum, berdasarkan syarat keberlakuan hukum dan kesesuaiannya dengan sistem hukum Indonesia.
Pemerintah memerlukan areal tanah yang cukup luas guna mendukung terlaksananya pembangunan untuk kepentingan umum, sedangkan pemegang pemegang hak atas tanah yang akan digunakan tanahnya oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan tidak boleh dirugikan. Untuk mengatur hal tersebut diperlukan adanya suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.
Sejak jaman penjajahan Belanda di Indonesia berlaku Bepalingen, regelende de onteigening en het tijdelijk in gebruik nemen van goedern ten algemeenen nutte, staatsblad 1920-574 yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan staatsblad 1947 nomor 96, selanjutnya disebut Onteigeningsordonnantie. Landasan pokok pembentukan ordonnantie ini disusun atas dasar hak eigendom.[8]
Hak eigendom adalah hak perseorangan yang terkuat menurut hukum Belanda yang sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Untuk mencabut hak eigendom ini harus melalui lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Itulah sebabnya jika hak tanah dengan hak eigendom ini akan dipergunakan oleh pemerintah, walaupun dalam keadaaan yang sangat mendesak, memerlukan waktu yang lama dan jalan yang panjang. Setelah kemerdekaan, dengan berlakunya UUPA maka onteigeningsordonnantie itu dicabut. Alasannya adalah tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan dan jiwa UUPA, yang memandang hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagai penggantinya pada tanggal 26 September 1961 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah.
Dalam kenyataannya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dapat dikatakan tidak pernah diberlakukan. Alasannya ialah karena adanya kemungkinan proses untuk mendapatkan tanah menjadi sangat lama dan usaha menghindarkan tindakan-tindakan yang bersifat memaksa. Hal ini dapat terjadi karena untuk dilakukannya pencabutan hak atas tanah disyaratkan beberapa unsur yang amat sulit dilaksanakan. Berhubung dengan keadaan ini ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.[9]
Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 bukanlah pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961, tetapi adalah pengganti dari ketentuan yang dimuat dalam Bijblad Nomor 11372 Yo.12746 yang mengatur tentang aparat yang pembebasan dan pemberian ganti kerugian atas tanah yang diperlukan yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pembangunan. Dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tidak diatur prosudur pengadaan tanah untuk swasta, sehingga hal ini dianggap merupakan salah satu kekurangan dari Permendagri Nomor 15 Tahun 1975. Padahal pembangunan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, melainkan diharapkan peran aktif dari pihak swasta. Untuk itu, oleh pemerintah dianggap perlu adanya bantuan fasilitas dari pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial. Pada tanggal 5 April 1976, ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.
Pada tanggal 1 Agustus 1985 ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa untuk pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar tidak perlu melalui panitia pembebasan tanah sesuai dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, tetapi cukup dilakukan oleh pimpinan proyek dengan camat yang bersangkutan saja. Dengan berlakunya peraturan-peraturan yang terakhir ini, berlakulah dualisme peraturan dan sesungguhnya telah terjadi suatu penyimpangan. Di samping itu karena pelaksanaan pembebasan tanah yang sering melanggar prosedur yang telah ditentukan. Untuk memperbaiki keadaan ini, pada tanggal 17 Juni 1993 ditetapkanlah Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ditetapkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sekaligus dengan dicabutnya peraturan-peraturan sebelumnya bertujuan ideal untuk keseimbangan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Tanggal 3 Mei 2005 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menggantikan Keppres 55 Tahun 1993[10].
Perpres ini mengamatkan perhatian yang lebih besar kepada pemegang hak atas tanah yang sah untuk mendapatkan keadilan atas ganti rugi, sekaligus menjaga penghormatan hak atas tanah serta kebutuhan pembangunan kepentingan umum yang jauh lebih luas manfaatnya. Kepentingan umum yang dimaksud dalam Keppres ini intinya adalah pemerintah dalam melaksanakan pengadaan tanah tidaklah mencari keuntungan. Untuk melakukan penyempurnaan terhadap Perpres 36 Tahun 2005, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Perpres 65 tahun 2006. Ditetapkannya Perpres 65 Tahun 2006 karena Perpres 36 Tahun 2005 dianggap akan menimbulkan banyak kerugian bagi pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pengadaan tanah, misalnya dengan adanya unsur pemaksaan bagi pemegang hak atas tanah dengan adanya pencabutan hak atas tanah di dalam upaya perolehan hak dalam pengadaan tanah.

III.3 Asas – Asas Pengadaan Tanah
Dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yakni instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Karena tanah sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan perwujudan hak ekonomi, sosial, dan budaya, maka pengadaan tanah harus dilakukan melalui suatu proses yang menjamin tidak adanya pemaksaan kehendak satu pihak terhadap pihak lain. Di samping itu, mengingat bahwa masyarakat harus merelakan tanahnya untuk suatu kegiatan pembangunan, maka harus dijamin kesejahteraan sosial ekonominya tidak akan menjadi lebih buruk dari keadaan semula, paling tidak harus setara dengan keadaan sebelum tanahnya digunakan oleh pihak lain.
Untuk mencapai hal-hal seperti di atas tersebut, maka pengadaan tanah harus dilakukan sesuai dengan asas-asas berikut[11] :
a.       Asas kesepakatan, yakni bahwa seluruh kegiatan pengadaan tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan bila telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan ganti kerugian telah diserahkan.
b.      Asas kemanfaatan, pengadaan tanah diharapkan mendatangkan dampak positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang terkena dampak dari masyarakat luas. Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan.
c.       Asas keadilan, kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik.
d.      Asas kepastian, pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
e.       Asas keterbukaan, dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya, kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti (bila ada) dan hak masyarakat untuk menyampaikan keberatannya.
f.       Asas keikutsertaan/Partisipasi, peran serta seluruh pemangku kepentingan dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan,evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.
g.      Asas kesetaraan, asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang terkena dampak secara sejajar dalam proses pengadaan tanah.
h.      Minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan sosial ekonomi. Dampak negatif pengadaan tanah sedapat mungkin diminimalkan, disertai dengan upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena dampak sehingga kegiatan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran.



III.4 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Di dalam Pasal 1 angka 1 Keppres 55 Tahun 1993 ditegaskan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Menurut Keppres 55 tahun 1993, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
Menurut Pasal 1 angka 1 Perpres 36 Tahun 2005, bahwa : pengadaan tanah adalah kegiatan mendapatkan tanah dengan memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dengan pencabutan hak. Pengertian pengadaan tanah menurut Perpres 36 Tahun 2005 ini memasukkan unsur pencabutan hak sebagai salah satu cara dalam pengadaan tanah yang telah ditinggalkan sebelumnya oleh Keppres 55 Tahun 1993.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Perpres 65 Tahun 2006 Pasal 1 Angka 1, bahwa : pengadaan tanah diartikan setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Perpres 65 Tahun 2006 menghilangkan pencabutan hak sebagai salah satu cara memperoleh hak atas tanah dalam pengadaan tanah. Pengertian pengadaan tanah menurut Perpres 65 Tahun 2006, ganti kerugian tidak hanya dilakukan terhadap tanah saja tetapi meliputi pula bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

III.5 Pengertian Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Kepentingan umum dalam Keppres 55 Tahun 1993 diartikan dalam Pasal 1 Ayat (3) yaitu: kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Pada Keppres 55 Tahun 1993 ini pembangunan untuk kepentingan umum dibatas untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut : (a)jalan umum, saluran pembuangan air; (b) waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; (c) rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat; (d) pelabuhan atau bandar udara atau terminal; (e) peribadatan; (f) pendidikan atau sekolahan; (g) pasar umum atau pasar inpres; (h) fasilitas pemakaman umum ; (i) fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana; (j) pos dan telekomunikasi; (k) sarana olahraga; (l) stasiun penyiaran radio, televisi beserta saluran pendukungnya; (m) kantor pemerintah; (n) fasilitas ABRI, selain kegiatan-kegiatan tersebut di atas kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pengertian kepentingan umum dalam Perpres 36 Tahun 2005 ada dalam Pasal 1 Ayat (5), bahwa : kepentingan umum adalah kepentingan lapisan masyarakat. Pada Perpres 36 Tahun 2005 pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah meliputi : (a) jalam umum, tol, rel kereta api, saluran air minum/bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; (b) waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan (c) rumah sakit umum dan puskesmas; (d) pelabuhan atau bandar udara atau stasiun kereta api; (e) peribadatan; (f) pendidikan atau sekolahan; (g) pasar umum; (h) fasilitas pemakaman umum ; (i) fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana; (j) pos dan telekomunikasi; (k) sarana olahraga; (l) stasiun penyiaran radio, televisi; (m) kantor pemerintah, pemerintah daearah, perwakilan Negara asing, PBB atau lembaga-lembaga internasional; (n) fasilitas tentara nasional dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan lain-lain.
Dalam Perpres 65 Tahun 2006, pengertian kepentingan umum dalam Pasal 1 tidak dirubah, pengertiannya sama halnya dengan Perpres sebelumnya, tetapi pembangunan untuk kepentingan umum menjadi dipersempit menjadi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah, meliputi : (a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; (b) waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; (c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; (d) fasilitas keselamatan umum; (e) tempat pembuangan sampah; (f) cagar alam dan cagar budaya; (g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
























BAB IV
KONSTRIBUSI PENELITIAN
IV.I Bentuk pelaksanaan mekanisme ganti rugi yang sah secara yuridis dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan sarana umum
              i.                     Penyuluhan
Panitia Pengadaan tanah bersama instansi yang memerlukan tanah melaksanakan penyuluhan untuk menjelaskan manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat dalam rangka memperoleh kesediaan dari para pemilik tanah. Dari hasil penyuluhan, ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yakni :
a)      Bila diterima oleh masyarakat, maka kegiatan pengadaan tanah ditindaklanjuti.
b)      Bila tidak diterima masyarakat, maka dilakukan penyuluhan ulang. Hasil penyuluhan ulangmembuka adanya dua kemungkinan, yaitu : (a) tetap ditolak oleh 75 persen pemegang hak atas tanah dan lokasi tidak dapat dipindahkan, dicari alternative lokasi lain; (b) tetap ditolak pemegang hak atas tanah, dan lokasi tidak dapat dipindah, maka Panitia Pengadaan Tanah mengusulkan kepada Bupati/Wali Kota/Gubernur DKI untuk menggunakan acara pencabutan hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Hasil pelaksanaan penyuluhan dituangkan dalam Berita Acara Hasil Penyuluhan.

            ii.                     Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah
Kegiatan dan tugas Panitia Pengadaan Tanah dirinci masing-masing untuk :
a)      Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota yang dibentuk dengan Keputusan Bupati/Wali Kota/Gubernur DKI, dengan anggota paling banyak 9 (sembilan) orang
b)      Panitia Pengadaan Tanah Propinsi, jika tanah terletak di dua Kabupaten/Kota atau lebih dalam satu propinsi atau lebih yang dibentuk dengan keputusan Mendagri.
c)      Panitia Pengadaan Tanah Nasional, jika tanahnya terletak di  dua propinsi atau lebih yang dibentuk dengan Keputusan Mendagri.

          iii.                     Identifikasi dan Inventarisasi
Jika rencana pembangunan diterima oleh masyarakat, dilakukan identifikasi dan inventarisasi tanah yang meliputi kegiatan penunjukan batas, pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan, dan lain-lain. Hasil pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi berkenaan dengan pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan dan pemetaan bidang tanah dan/atau bangunan dan keliling batas bidang tanah dituangkan dalam bentuk Peta Bidang Tanah. Hasil pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi terkait enam aspek lainnya dituangkan dalam bentuk Daftar yang memuat berbagai keterangan berkenaan dengan subjek dan objek. Peta Bidang Tanah dan Daftar tersebut diumumkan selama tujuh hari dan/atau melalui mass media dalam dua kali penerbitan.
Sengketa atau perkara terkait pemilikan/penguasaan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah disarankan untuk diselesaikan melalui lembaga peradilan. Panitia Pengadaan Tanah mencatat sengketa atau perkara tersebut dalam Bidang Tanah dan Daftar. Peta Bidang Tanah dan daftar tersebut disahkan oleh seluruh anggota Panitia Pengadaan Tanah.

          iv.                     Pembayaran Ganti Rugi
Yang berhak menerima ganti rugi adalah :
a)      Pemegang hak atas tanah
b)      Nazir bagi tanah wakaf
c)      Ganti rugi untuk Hak Guna Bangunan/hak Pakai yang diberikan di atas tanah Hak Milik/Hak Pengelolaan diberikan kepada pemegang Hak Milik/hak Pengelolaan.
d)     Ganti rugi bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda yang ada di atas Tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang diberikan di atas tanah Hak Milik/Hak Pengelolaan, diberikan kepada pemilik bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda tersebut.
Ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam waktu paling lama 60 hari sejak tanggal keputusan, untuk ganti rugi yang tidak berupa uang, penyerahannya dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati para pihak. Ganti rugi diberikan dalam bentuk : (a) uang; (b) tanah dan/atau bangunan pengganti atau pemukiman kembali; (c) tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai paling kurang sama dengan harta benda wakaf yang dilepaskan; (d) recognisi berupa pembangunan fasilitas umum dan bentuk lain yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat (untuk tanah ulayat) atau sesuai keputusan pejabat yang berwenang untuk tanah instansi pemerintah atau pemerintah daerah. Ganti rugi yang dititipkan atau tidak langsung diserahkan karena sebab-sebab tertentu selain karena pemegang hak atas tanah tetap menolak, yaitu: (a) yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui keberadaannya; (b) tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda lain terkait dengan tanah sedang menjadi objek perkara di pengadilan; (c) sengketa pemilikan yang masih berlangsung dan belum ada penyelesainnya; (d) tanah, bangunan tanaman dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah sedang diletakkan sita oleh pihak yang berwenang. Penitipan ganti rugi dilakukan dengan permohonan penitipan kepada ketua Pengadilan Negeri


IV.2 Permasalahan dalam penentuan ganti rugi dan cara atau upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada rakyat dalam pelaksanaan proses pengadaan tanah untuk pembangunan sarana umum.
Dalam implimentasi ganti rugi tanah dalam hukum masih sangat rentan meskipun adanya landasan hukum pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 yang kemudian juga digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Hal ini belum menjamin adanya pelaksanaan yang belum maksimal,  dikarenakan masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan kepastian akan ganti rugi tanah yang digunakan untuk kepentingan umum.
Berdasarkan pada uraian sub-sub bab diatas, terdapat beberapa keritikan terhadap ganti rugi tanah untuk kepentingan umum, maka yang menjadi titik penekanan bagi pemerintah adalah, Untuk pengadaan tanah skala kecil dan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembagunan untuk kepentingan umum dapat dilakukan secara langsung melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak. Untuk pengadaan tanah skala kecil dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan Panitia Pengadaan Tanah.










BAB V
JADWAL PENELITIAN


Jadwal kegiatan penelitian
No
kegiatan
Minggu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Identifikasi masalah










2
Studi literature










3
pengumpulan data










4
perancangan proposal










5
implementasi proposal










6
penyerahan proposal




























BAB VI
ANGGARAN BIAYA PENELITIAN

Rencana Anggaran dari Biaya Penelitian, adalah:
No
Uraian Kegiatan
Biaya
1
Pengumpulan Data
Rp.   750.000
2
Pemakaian Internet
Rp.   200.000
3
Tranportasi
Rp.   550.000
4
Pembuatan Proposal
Rp.   200.000
5
anggaran tak terduga
Rp.   300.000
Total
Rp.2.000.000




















DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdurrahman. 1984. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-Undangan Agraria Indonesia, Cetakan I. Jakarta: Akademika Pressindo

Achmad Chulaemi. 1982. Hukum Agraria. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Ali Achmad Chomzah. 2002. Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I dan Seri Hukm Pertanahan II Pemberian Hak Atas Tanah, Sertipikat dan Permasalahannya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Ali Sofyan Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Aminuddin Salle. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta: Kreasi Total Media

A.P. Parlindungan. 1999. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju

----------------------. 2003. Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan, Bandung: Mandar Maju

Bachtiar Effendi. 1993. Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Cetakan I. Bandung: Alumni

-------------------. 1993. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Cetakan I. Bandung:Alumni

Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Bambang Waluyo. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Edisi Revisi, Cetakan 10. Jakarta: Djambatan

------------------. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Edisi Revisi, Cetakan 14.Jakarta : Djambatan.

Eddy Ruchiyat. 1989. Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Cetakan II. Bandung: Armiko

Effendi Perangin. 1994. Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah di Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Rajawali

Herman Hermit. 2004. Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda. Bandung: Mandar Maju

Iman Sudiyat. 1982. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty

Koentjaraningrat. 1994. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Maria Sumardjono. 2006. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas

---------------------. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: Kompas

Muchsin. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Refika Aditama

Soeparmoko. 1991. Metode Penelitian Praktis, Jogyakarta: BPFE

Ronny Hanitijo Soemitro. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia

R. Harmanses. 1980, Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendaftaran
Tanah

R. Soeprapto. 1986. UUPA Dalam Praktek. Jakarta: Mitra Sari

Soerjono Soekanto. 1 884. Pengantar Penelitian Hukum Jakarta: Universitas Indonesia

Sudjipto. 1987. Prona, Pensertipikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian masalah yang Bersifat Strategis. Yogyakarta: Liberty

Suharjo Hadisaputro. 2000. Pedoman Penulisan Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro

Surjono Sukanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia S. Suryono. 2005. Himpunan Yurisprudensi Hukum Pertanahan seri Hukum Pertanahan. Jakarta: BP. Cipta Jaya

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Penjelasannya.

Undang-Undang Nomor 60 tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tanggal 3 Desember 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

Keputusan Presiden Nomor 55 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kepala Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993.

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 






Daftar Riwayat Hidup
Nama                                       :  Julian Richie Hermawan           
Tempat, tanggal lahir              : Kudus,16 Juli 1991
Alamat asal                             : Kudus
Nama orang tua                       : Soedjak (alm)
Riwayat pendidikan                :SD Negeri 1 Puwwosari Kudus (1996-2002)
                                                 SMP 1 Muhamadiyah Kudus (2002-2005)
                                                 SMA 1 Muhamadiyah Kudus (2005-2008)
                                                           
                                                           
Alamat di Semarang               : Jln galang sewu raya 108 tembalang semarang
No. Telp./ HP                          : 085865331000
Email                                       : julian_richie@yahoo.com



                                                                         Semarang,24 Mei 2011
                                                                                       Mengetahui

                                                                                       
                                                                               Julian Richie Hermawan                  
                                                                                    NIM B2A008416







[1] Maria, S.W. Sumardjono. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. (Jakarta : Kompas, 2008)hal : 280
[2] Arif Budiman, Teori Negara Kekuasaan dan Ideologi. (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1997)  hal:6
[3] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat. Bandung ( Alumn, 1973). hal 237
[4] Ibid., hal 238
[5] Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa. (Jakarta: balai Pustaka. 1984 ) hal 311
[6] Aminuddin Salle, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta: total media.
[7] Ibid., hal 45
[8] Eddy Ruchiyat. A984. Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA.Bandung: Alumni. (hal, 25)

[9] Aminuddin Salle.. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. (Yogyakarta: total media. 2007)
[10]Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.  (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994)hal : 11

[11] Maria S.W. Sumardjono, Op.cit, hal 280

Tidak ada komentar:

Posting Komentar